Selasa, 10 April 2012

TIPE VEGETASI DAERAH TROPIS DAN DAERAH SEKITARNYA


TIPE VEGETASI DAERAH TROPIS DAN DAERAH SEKITARNYA

Daerah tropik merupakan daeeah di sepanjang garis khatulistiwa 23,5° LU – 23,5° LS, beriklim panas dan matahari bersinar sepanjang tahun. Perubahan suhu antara Januari-Desember sangat sedikit. Curah hujan sangat tinggi, merata 200-225 cm/tahun.

1. Hutan tropika basah
Tipe vegetasi ini merupakan formasi yang terdapat atau tersebar di daerah katulistiwa dan merupakan tipe vegetasi yang paling lebat dari semua tipe vegetasi yang ada. Vegetasi ini didukung oleh iklim tropis. Daerah Indonesia dari selatan dan ke timur yaitu Sumatera bagian timur, Kalimantan, Jabar, Sulawesi Tengah dan Irian.
Ciri- ciri hutan tropika tropis yaitu:
1) Daerah yang ditempati hutan tropika ini biasanya mempunyai topografi agak rata sampai bergelombang serta pada lereng-lereng gunung sampai ketinggian ± 1000 m. 
2) Hujan tahunan rata-rata 2000 – 4000 mm dengan suhu ± 25° – 26° C.
3) Kelembapan rata-rata sekitar 80%.
4) Kaya akan berbagai spesies.
5) Di dalam hutan tropika basah ini berkembang subur serangga, burung dan binatang – binatang seperti monyet, ular dan lain-lain.

Tumbuhan utama penyusun hutan tropika basah biasanya terdiri atas tujuh kelompok yaitu :
a) Pohon-pohon hutan 
-Lapisan paling atas (tingkat-A)
Pohon-pohon ini merupakan komponen structural utama. Yang disebut ”atap” atau ”tajuk” (”canopy”) yang terdiri atas tiga ”tingkat” atap (tajuk) dengan tingkat tertinggi (A) sering agak berjauhan dan agak jarang. Terdiri dari pohon-pohon sringgi 30-45 m. Pepohonan yang muncul keluar ini mencuat tinggi di atas sudut hutan, bertajuk lebar dan umumnya tersebar sedemikian rupa shingga tidak saling bersentuhan membentuk lapisan yang bersinambung. Bentuk khas tajuknya sering dipakai untuk mengenali speseies itu dalam suatu wilayah. Pepohonan yang mencuat itu seing berakar agak dangkal dan banir.
-Lapisan pepohonan kedua (tingkat-B)
Tingkat kedua (B) membentuk massa dengan ketinggian antara 15 – 30 m. Pepohonan ini tumbuh lebih berdekatan dan cenderung membentuk sudut yang bersinambung. Tajuk sering membulat atau memanjang dan tidak selebar seperti pohon yang mencuat.
-Lapisan pepohonan ketiga (tingkat C)
Kemudian pohon-pohon yang lebih pendek membentuk tingkat tiga (C); pada umumnya tingginya antara 5 – 15 m. Daun-daun umumnya berukuran sedang dan luas 2000 – 18000 mm2 Daun tersebut, biasanya tunggal, kaku berwana hijau tua dengan permukaan mengkilat. Pembuangan, pembuahan dan pergantian daun dapat kapan saja terjadi dalam setahun, sebab setiap jenis tumbuhan cenderung mempunyai waktunya sendiri-sendiri dalam hal berbunga, berbuah serta bertunas. Pepohonan disini sering mempunyai bentuk yang agak beraneka tetapi cenderung membentuk lapisan yang rapat, terutama di tempat yang lapisan keduanya tidak demikian.
Ketiga lapisan pohon ini juga juga bergabung dengan berbagai populasi epifit, perambat, dan parasit terutama bergantung pada kebutuhan cahaya dari tumbuhan yang bersangkutan.


b) Terna
”Terna” merupakan vegetasi yang lebih rendah yang terdiri dari berbagai jenis dan berkembang dibawah pohon-pohon yang lembab. Seperti paku-pakuan dan sejenisnya yang merupakan lapisan semak-semak . Biasanya tummbuhan golongan terna ini, tidak dapat berkembang dengan sempurna karena kekurangan cahaya. Tumbuhan terna ini lebih berkembang pada lereng-lereng karena kemungkinan lebih banyak mendapat cahaya matahari.
c) Tumbuhan pemanjat
Tumbuhan ini berkayu yang memanjat disebut ”liana”, tumbuhan ini dapat mencapai panjang 200 m memanjat dari pohon yang satu ke pohon yang lain. Ada juga jenis lain yang berduri sebagai alat untuk mencekal (mencengkram) pohon yang dipanjat seperti tumbuhan rotan.
Liana terdapat paling melimpah di tempat-tempat yang hutannya telah mengalami gangguan, seperti sepanjang tepi pantai. 
d) Epifit
Tumbuhan ini tumbuh melekat pada batang, cabang dan bahkan pada daun-daun. Epifit pada umumnya tidak menimbulkan pengaruh buruk pada tumbuhan inang yang tumpanginya. Kehadiran epifit pada hutan ini merupakan ciri-ciri yang membedakan hutan tropika basah dari pada komunitas hutan didaerah hutan sedang. Tumbuhan  epifit itu seperti misalnya anggrek, paku epifit, lumut-lumut pohon dan lain-lain. 
Epifit dalam hutan tropika basah dapat dibedakan dalam tiga tipe utama, sesuai dengan mikrohabitat yang berbeda-beda, yaitu
1) Epifita yan bersifat ekstrim xerofil
Hidup pada bagian paling ujung cabang-cabang dan ranting pohon yang lebih besar (inangnya) seperti beberapa jenis suku Bromeliaceae yang cukup menarik perhatian dan juga jenis kaktus.


2) Epifita matahari
Biasanya bersifat xeromorfik dan terutama terdapat pada bagian tengah tajuk inangnya dan sepanjang dahan-dahan yang lebih besar pada pohon-pohon penyusun tingkat teratas.
3) Epifita naungan
Terutama ditemukan pada batang dan dahan pohon-pohon dari lapisan C atau pada batang liana yang lebih besar.

e) Pencekik pohon
Tumbuhan ini, memulai kehidupannya sebagai epifit, kemudian mengirim akarnya tumbuh turun ke tanah, menyebabkan tidak lagi bergantung pada tumbuhan inangnya, tumbuhannya seperti ”ficus”.

f) Saprofit
Tumbuhan ini, mendapatkan zat haranya dari bahan organik yang mati, merupakan komponen heterotrop yang tidak berwarna hijau seperti cendawan, bunga raflesia mahillana. Bunga Raflesia ini tidak mempunyai daun atau batang, juga tanpa klorofil. Bunga langsung tumbuh dari akar inangnya. Bunga ini terkenal dengan nama bunga bangkai yang terdapat di Lampung—Sumatera. Tumbuhan Raflesia ini termasuk ”endemik” yaitu tumbuhan yang daerah agihannya hanya terbatas pada daerah terbatas atau pulau tertentu.

g) Parasit
Tumbuhan ini seperti benalu (loranthaceae) yang terdiri atas sejumlah besar jenis-jenis dan kadang-kadang terdapat dalam jumlah yang banyak diseluruh wilayah hutan tropika basah. Benalu ini merupakan semak berkayu terdapat dan tumbuh pada cabang-cabang pohon, yang dapat merugikan petani buah-buahan pohon keras.

2. Hutan tropika dengan irama musim
Pada umumnya vegetasi ini tumbuh di daerah dengan adanya irama musim, dan  bervariasi dalam formasi tumbuhan. Tumbuhan didaerah ini sebenarnya meliputi wilayah yang lebih luas. Hutan disini dapat diklasifikasikan menurut ketersediaan air yaitu : 
1)Hutan musim
Memiliki karakteristik seperti:
a. Hutan ini biasanya berkembang dengan adanya pergantian musim (musim kemarau dan hujan). 
b. Curah hujan biasanya lebih sedikit bila dibandingkan hutan tropika basah. Yaitu antara 100 – 200 cm setiap tahun. 
c. Hutan musim ini daerah persebarannya seperti di India, Birma, Indonesia dan juga terdapat pada tepi-tepi hutan tropika basah di Afrika, Malagasi, Indonesia khususnya Jawa Tengah dan Timur, Bali, Sulawesi Tenggara.
d. Vegetasinya tidak terlalu lebat. Hutan musim cenderung lebih terbuka, dengan pohon-pohon penyusunnya lebih berjauhan, sehingga cahaya dapat sampai ke tanah, biasanya hutan ini akan meranggas (menggugurkan daunnya) pada musim kemarau.
e. Vegetasi pada bagian bawah lebih subur dibanding dengan vegetasi bawah hutan tropika basah karena adanya sinar. Pada umumnya terdiri dari semak belukar, tumbuhan berumbi lapis dan semak-semak umumnya berbunga pada permulaan musim hujan. Dalam hutan ini biasanya terdiri dari 40 sampai 50 jenis pohon.

2) Lahan hutan sabana atau bentang lahan taman (Park land)
Memiliki karakteristik, seperti:
a. Hutan ini diketemukan di daerah-daerah yang musim kemarau lebih panjang dengan curah hujan tahunan lebih rendah dari pada didaerah hutan musim. 
b. Pohon-pohon tumbuhnya berjauhan kecuali didaerah aliran sungai. Tumbuhan ini adalah tumbuhan yang tahan terhadap kekurangan air. Pada musim kemarau, juga sering meranggas. 
c. Vegetasi hutan sabana tampaknya seperti taman, sebab kaya akan padang rumput yang diselingi pohon-pohon sehingga banyak binatang (hewan) pemakan rumput. Jarang sekali dijumpai tumbuhan liana dan epifita dikawasan hutan ini. Lahan hutan sabana di Indonesia ditemukan di wilayah Nusa Tenggara Barat dan Timur, sebagian sempit wilayah Sulawesi Tenggara. Hutan sabana ini juga dapat muncul / terjadi pada daerah yang berhutan kemudian dirusak oleh manusia (dibakar).

3) Lahan hutan berduri
Mempunyai ciri- ciri, yaitu:
a. Iklim yang mempunyai musim kering yang panjang dan musim hujan lebat yang rendah dan singkat, dengan suhu tinggi sepanjang tahun 15 – 35° c dan presipitasi 40 – 90 cm/thn. 
b. Hutan berduri ini di daerah tropika biasanya bersifdat meranggas. Akar tumbuhan ini masuk tanah cukup dalam untuk mendapat air. Semak-semak berduri ini mencapai ketinggian 3 – 5 meter. Di wilayah Indonesia hutan berduri hanya dijumpai sedikit di wilayah Indonesia Timur seperti Nusa Tenggara Timur yang tanahnya terdiri dari kapur atau pasir dengan hujan yang sedikit dan jauh dari daerah aliran sungai (DAS).

4) Sabana dan lahan rumput lain didaerah tropika dan subtropika
Daerah sabana terdiri dari kayu yang tinggi dengan kondisi curah hujan ± 100 Cm / th dan terbagi selama 120 – 190 hari dengan kekeringan selama 6 -7 bulan. Sabana tampak sebagai taman, dimana daerah aliran sungai lebih banyak ditumbuhi pohon-pohon. Rumput tingginya berkisar antara 1 – 3 meter. Pohon–pohon yang ada biasanya tidak dijumpai seperti hutan dan umumnya banyak dijumpai dari jenis palma pohon-pohon khas dari jenis akasia. 

3. Hutan bakau (mangrove) dan vegetasi lain di tepi pantai daerah tropis
Tipe vegetasi ini mempunyai karakteristik tersendiri dan tersebar luas didaerah tropis dan subtropis yang disebut hutan bakau atau hutan mangrove (”mangrove forest” atau mangrove swamp forest”). Vegetasi ini tumbuh dan berkembang pada sepanjang pantai aluvial (tempat bermuara sungai-sungai) dan teluk-teluk. 
Hutan ini di Indonesia hampir didapati diseluruh pantai kecuali pantai-pantai curam. Misalnya pantai utara Jawa, pantai timur Sumatera, pantai Kalimantan dan Pantai selatan Irian. Hutan bakau di Indonesia sudah banyak yang rusak utamanya di pulau jawa. Hal ini menyebabkan terjadinya erosi (abrasi) pantai. 
Ciri hutan ini banyak dijumpai pohon- pohon seperti:
a. Pohon bakau banyak mempunyai akar tunjang, serta akar nafas yang timbul dari bawah lumpur. Kadang-kadang hutan bakau diganti oleh palma seperti pohon-pohon nipa (”nipafrunticaus”). 
b. Pohon nipa ini lebih banyak dijumpai dipantai-pantai yang tidak terlalu berlumpur dan banyak dijumpai dipantai di wilayah Indonesia bagian timur, seperti pantai Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan Irian.
c. Sagu yang banyak tumbuh didaerah pantai merupakan bahan makanan penduduk Maluku (Indonesia Timur) setelah diolah melalui proses pengambilan sari patinya.
d. Terdapat juga vegetasi lain yang berkembang didaerah pesisir yang berpantai pasir seperti rumput gulung (”Spinifex littoreus), tapak kambing (”Ipomeaepes-caprae”) yang tumbuhnya merayap, pohon-pohon kecil seperti pohon pandan (”pandanus”) banyak diketemukan di pantai selatan Jawa dan pantai-pantai lain di Indonesia.
e. Selain dari itu tumbuhan pantai yang paling terkenal di Indonesia yang banyak tumbuh adalah kelapa yang banyak memberi ciri khas untuk pantai-pantai didaerah tropika. 

4. Vegetasi rawa air tawar / danau daerah tropis
Rawa-rawa air tawar di daerah cekungan atau tanah-tanah tergenang air sering ditumbuhi hutan rawa dan semak-semak gelagah (”reed”) serta berbagai macam komunitas gulma. Selain dari pada itu juga diketemukan tumbuhan kertas (Cyperus papyrus) ekor kucing (typha), maupun enceng gondok serta tumbuhan palma lain.
Pada daerah ini biasanya terjadi gambut, yang banyak diketemukan di Kalimantan, di plato Dieng dan lain-lain. Suatu hal yang karakteristik pada rawa gambut, biasanya didominasi oleh pepohonan yang tergolong dalam ”dicotyledoneae” pada tepi-tepi bekas rawa.
Pada awal mulanya rawa dipenuhi tumbuhan air yang terapung, kemudian disusul dengan tumbuhan berakar dengan daun-daun yang terapung seperti teratai, enceng gondok, dan disusul tumbuhan tahap rawa gelagah dan pada gilirannya akan terganti menjadi semak-semak atau hutan rendah.
Hal ini dapat dilihat dirawa pening atau bekas-bekas rawa yang rendah mulai punah oleh proses pengendapan dan suksesi tumbuhan (danau Tempe, danau sidenreng di Sulawesi Selatan). Demikian halnya dengan Kalimantan yang terkenal dengan tanah gambut yang cukup tebal.
Berdasarkan ketinggian tempat hutan tropis terdiri atas:
1. Hutan Tropis Dataran Rendah (0 – kurang dari 800 m dpl.) 
Famili penyusun hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Dipterocarpaceae, Annonaceae, Bombacaceae, Guttiferae, Sapindaceae, Euphorbiaceae, Dilleniacee, Leguminoceae, Meliaceae, Sterculiaceae.
2. Hutan Tropis Dataran Tinggi/ Pegunungan (800-1.500 m dpl.) 
Famili penyusun hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Fagaceae, Lauraceae, Myrtaceae, Araucariaceae, Juglandaceae.
3. Hutan Tropis Pegunungan Tinggi (lebih dari 1.500 m dpl.) 
Famili penyusun tipe hutan ini untuk wilayah Asia Tenggara, yaitu : Myrtaceae, Podocarpaceae. 

Tipe Hutan Tropis Menurut Iklim di Indonesia 
1. Hutan Tropis Basah 
Hutan tropis basah adalah hutan yang memperoleh curah hujan yang tinggi, sering juga kita kenal dengan istilah hutan pamah. Hutan jenis ini dapat dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku Bagian Utara dan Papua. Jenis-jenis yang umum ditemukan di hutan ini, yaitu : Meranti (Shorea dan Parashorea), keruing (Dipterocarpus), Kapur (Dryobalanops), kayu besi (Eusideroxylon zwageri), kayu hitam (Diospyros sp). 
2. Hutan Muson Basah 
Hutan muson basah merupakan hutan yang umumnya dijumpai di Jawa Tengah dan Jawa Timur, periode musim kemarau 4-6 bulan. Curah hujan yang dialami dalam satu tahun 1.250 mm-2.000 mm. Jenis-jenis pohon yang tumbuh di hutan ini antara lain jati, mahoni, sonokeling, pilang dan kelampis. 
3. Hutan Muson Kering 
Hutan muson kering terdapat di ujung timur Jawa, Bali, Lombok dan Sumbawa. Tipe hutan ini berada pada lokasi yang memiliki musim kemarau berkisar antara 6-8 bulan. Curah hujan dalam setahun kurang dari 1.250 mm. Jenis pohon yang tumbuh pada hutan ini yaitu Jati dan Eukaliptus.
4. Hutan Savana 
Hutan savana merupakan hutan yang banyak ditumbuhi kelompok semak belukar diselingi padang rumput dengan jenis tanaman berduri. Periode musim kemarau 4 – 6 bulan dengan curah hujan kurang dari 1.000 mm per tahun. Jenis-jenis yang tumbuh di hutan ini umumnya dari Famili Leguminosae dan Euphorbiaceae. Tipe Hutan ini umum dijumpai di Flores, Sumba dan Timor. 
Tipe Hutan Berdasarkan Physiognomi 
Pada sistem klasifikasi ini dasar yang dipakai adalah ciri-ciri luar vegetasi yang mudah dikenali dan dibedakan, seperti semak, rumput, pohon dan lain-lain. Ciri lebih lanjut seperti menggugurkan daun, selalu hijau, tinggi dan derajad penutupan tegakan dapat pula diterapkan. Ciri-ciri yang umum digunakan yaitu : 
a. Tinggi vegetasi, yang berkaitan dengan strata yang nampak oleh mata biasa
b. Struktur, berpedoman pada susunan stratum (A, B, C, D dan E), dan penutupan tajuk (Coverage). 
c. Life-form atau bentuk hidup atau bentuk pertumbuhan, merupakan individu-individu penyusun komunitas tumbuh-tumbuhan. 
Contoh : 
1. Ciri physiognomi hutan tropis dataran rendah : 
Kanopi : 25 – 45 m
Tinggi pohon (emergent) : Khas, 60 – 80 m
Daun penumpu : Sering dijumpai
Elemen daun dominan : Mesophyl
Akar papan : Sering dijumpai dan sangat besar
Kauliflori : Sering dijumpai
Liana berkayu : Sering dijumpai
Liana pada batang : Sering dijumpai
Ephyphit : Sering dijumpai
2. Ciri physiognomy hutan tropis dataran tinggi/ pegunungan :
Kanopi : 15 – 33 m
Tinggi pohon (emergent) : Sering tidak ada
Daun penumpu : Jarang dijumpai
Elemen daun dominan : Mesophyl
Akar papan : Jarang dijumpai dan kecil
Kauliflori : Jarang dijumpai
Liana berkayu : Jarang dijumpai
Liana pada batang : Sering dijumpai
Ephyphit : Sangat sering dijumpai
3. Ciri physiognomi hutan tropis pegunungan tinggi :
Kanopi : 2 - 18 m 
Tinggi pohon (emergent) : Pada umumnya tidak ada
Daun penumpu : Sangat jarang  dijumpai
Elemen daun dominan : Microphyl
Akar papan : Pada umumnya tidak ada
Kauliflori : Tidak ada
Liana berkayu : Tidak ada
Liana pada batang : Jarang dijumpai
Ephyphit : Sering dijumpai
            
Di Indonesia berdasarkan ciri physiognomi tedapat dua tipe hutan yaitu : 
a. Hutan Hujan Tropis, hutan yang selalu hijau 
Hutan hujan tropis umumnya dijumpai di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Maluku bagian Utara dan Papua
b. Hutan musim atau hutan yang menggugurkan daun
Hutan musim yang menggugurkan daun dijumpai di Jawa, Bali, Nusa Tenggara dan Maluku bagian Selatan. 

TIPE VEGETASI DAERAH SUBTROPIS DAN DAERAH DI SEKITARNYA

Daerah subtropik merupakan daerah yang terletak pada 23,5°-66,5° LU atau LS. Iklimnya disebut iklim sedang. Musim hujan muncul sepanjang tahun 75-100 cm/tahun. Memiliki 4 musim, yaitu:
1. Musim panas (summer)
2. Musim gugur (autum)
3. Musi dingin (aunter)
4. Musim semi (spring) 

Ciri vegetasi subtropik:
Adapun hutan yang ada yakni hutan peluruh, yang akan meluruh pada musim dingin dan akan bersemi kembali saat musim dingin selesai. Jumlah tumbuhan yang hidup lebih sedikit dibandingkan hutan daerah tropis. Biasanya tanaman ukurannya tinggi dengan jarak yang tidak rapat antara satu pohon dengan pohon lainnya, dan hampir tidak ada perdu di bawahnya.
Di daerah subtropika yang curah hujannya melimpah dan terbagi merata terdapat hutan basah (hutan hujan) yang serupa dengan hutan tropika basah, kecuali terdapatnya kecendrungan tidak begitu lebat dan didominasi oleh jenis-jenis tumbuhan yang jumlahnya sedikit, dan mencakup unsur dari daerah iklim sedang, tetapi dengan jumlah flora yang lebih kecil. Seringkali dalam hutan subtropika basah terdapat liana dan epifit, demikian pula jenis pohon-pohonnya. Semakin jauh dari daerah tropika, tetapi masih dalam daerah hutan subtropika, jumlah spesies khususnya spesies pohon semakin berkurang dan berbagai corak fisiognomi dan tropika yang khas seperti terdapatnya banir berangsur-angsur menghilang.
Persebaran dari hutan subtropika diantaranya Australia bagian Timur, Asia Tenggara termasuk Cina bagian Selatan, Myanmar bagian Utara, serta Pantai Timur Amerika Selatan. Selain itu, terdapat beberapa daerah terpencil alam wilayah subtropika yang dalam keadaan menguntungkan, disana terapat hutan tak ranggas terpencil yang berdaun lebar, seperti hutan ayunan di Florida dan hutan pada tepian Rio de la Plata.



DAFTAR PUSTAKA

Arief, Arifin. 2002. Hutan dan Kehutanan. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Ewusie, J. Yanney. 1990. Ekologi Tropika. Bandung: ITB.
http://muhsholeh.blogspot.com/2010/10/tipe-vegetasi-daerah-tropis-dan-daerah.html.
http://miagani.typepad.com/blog/2010.
Suhendang, Endang. 2002. Pengantar Ilmu Kehutanan. Bogor: Yayasan Penerbit
Fakultas Kehutanan IPB
Tjitrosoepomo, Gembong. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu
Serumpun. Yogyakarta: UGM Press.

PB09

TIPE–TIPE VEGETASI DI DUNIA

TIPE–TIPE VEGETASI DI DUNIA

Biogeografiyaitu bidang ilmu yang mempelajari dan berusaha untuk menjelaskan distribusi organisme di permukaan bumi. Di dunia ini dikenal 6 daerah biogeografi dengan masing-masing daerah yang memiliki perbedaan dan keseragaman tertentu (unik) dalam kelompok-kelompoknya.
Daerah biogeografi ini dinamakan Australia, Oriental, Ethiopia, Neotropika, Paleartik dan Neartik. Karena fauna Paleartik dan Neartik adalah serupa, maka kedua daerah biogeografi ini kadang-kadang digabung menjadi Holartik.
Iklim merupakan faktor utama yang menentukan tipe tanah maupun spesies tumbuhan yang tumbuh di daerah tersebut. Sebaliknya jenis tumbuhan yang ada menentukan jenis hewan dan mikroorganisme yang akan menghuni daerah tersebut. Pada dasarnya iklim tergantung pada matahari. Matahari bertanggung jawab tidak hanya untuk intensitas cahaya yang tersedia untak proses fotosintesis, tetapi juga untuk temperatur umumnya.
Komponen iklim lain yang menentukan organisme apa yang dapat hidup di suatu daerah adalah kelembaban, kelembaban ini juga bergantung pada cahaya matahari dan temperatur. Curah hujan yang banyak diperlukan untuk mendukung pertumbuhan pohon-pohon yang besar, sedangkan curah hujan yang lebih sedikit membantu komunitas yang didominasi oleh pohon-pohon pendek, semak belukar, rumput dan akhirnya kaktus atau tumbuhan gurun lainnya.
Makin tinggi curah hajan dan temperatur di suatu daerah (tanah) makin banyak dan makin besar jumlah tumbahan yang didukungnya. Dengan demikian iklim merupakan salah satu faktor utama terbentuknya daerah-daerah biografi.
Vegetasi adalah kumpulan dari beberapa jenis tumbuhan yang hidup secara bersama-sama pada suatu wilayah tertentu.


A. Tipe Vegetasi di Daerah Kutub
Secara umum, tipe-tipe vegetasi di daerah kutub meliputi :
a. Tundra
Tundra merupakan daratan tanpa pohon yang terdapat di kutub utara. Vegetasi yang ada terdiri dari lumut kerak dan vegetasi rumput. Jenis vegetasi ini mirip dengan vegetasi yang tetdapat pada vegetasi gurun hanya saja terdapat pada iklim dingin, sehingga tundra sering disebut juga gurun dingin (cold desert). Tundra terdapat di bagian utara Skandinavia, Finlandia, Rusia, Siberia, dan Kanada.
Ciri-ciri :
a. Temperatur sangat rendah
b. memiliki iklim kutub
c. pohon rendah atau amat pendek (semak) dan lumut
d. masa pertumbuhan vegetasi sangat pendek
e. Mendapat sedikit energi radiasi matahari, musim dingin sangat panjang dapat berlangsung selama 9 bulan dengan suasana gelap.
f. Musim panas berlangsung selama 3 bulan, pada masa inilah vegetasi mengalami pertumbuhan.
Bentangan tundra meliputi sebagian besar dataran-dataran rendah didaerah Artika, yang pada umumnya merupakan semacam padang rumput tipis yang didominasi oleh tumbuhan ”mesofitik” seperti Carex bigelowii dan rumput Poa artica, serta semak-semak kecil dan rendah salix. Didaerah Arktika Bawah yang berupa cekungan kadang-kadang dijumpai vegetasi yang agak banyak (lebat) seperti rumput kapas (Eriophorum spp.) dan Carex aquatilis serta rumput Arctagrostis latifolia. Variasi utama yang terjadi didaerah artik, karena pengaruh kondisi air setempat, faktor edafik serta faktor pembekuan. Daerah pantai yang terdiri dari kerikil dan batu-batu biasanya terdapat krolot laut (Areanaria peploides) dan Meriensia maritimia, yang tumbuh berpencar-pencar.
Pada daerah pegunungan tinggi, suhunya akan sama dengan daerah tundra sehingga vegetasi yang mampu berkembang adalah lumut kerak. Misalnya, di pegunungan Andes Amerika Selatan, Pegunungan Himalaya, Pegunungan Alpina, Pegunungan Rocky, Gunung Akonkagua, dan Gunung Jaya Wijaya.
Kemudian, terdapat pula padang semak-semak kerdil di daerah Arktika Bawah ini, yang terdiri dari berbagai jenis Salix spp., dan Betua spp.

b. Taiga
Bioma ini kebanyakan terdapat di daerah antara subtropika dengan daerah kutub, seperti di daerah Skandinavia, Rusia, Siberia, Alaska, Kanada.
Ciri-ciri:
1. Perbedaan antara suhu musim panas dan musim dingin cukup tinggi, pada musim panas suhu tinggi, pada musim dingin suhu sangat rendah.
2. Pertumbuhan tanaman terjadi pada musim panas yang berlangsung antara 3 sampai 6 bulan.
3. Flora khasnya adalah pohon berdaun jarum/pohon konifer, contoh pohon konifer adalah Pinus merkusii (pinus). Keanekaragaman tumbuhan di bioma taiga rendah, vegetasinya nyaris seragam, dominan pohon-pohon konifer karena nyaris seragam, hutannya disebut hutan homogen. Tumbuhannya hijau sepanjang tahun, meskipun dalam musim dingin dengan suhu sangat rendah.
Berbeda halnya dengan vegetasi di daerah Antartika, di sana terdapat vegetasi yang tergolong sangat sedikit dibandingkan dengan daerah Arktika. Hal ini disebabkan karena iklim di daerah tersebut sangat tidak menguntungkan untuk beberapa jenis tumbuhan. Hampir seluruh daratan benua Antartika tergolong dalam daerah “pembekuan abadi”, dan hanya sedikit yang memiliki “iklim tundra”.
Di daerah Antartika ini hidup beberapa jenis tumbuhan seperti :
1. Colobanthus carssifolius dan Lyallia spp., (Caryophyllaceae)
2. Pringlea antiscorbituica (Cruciferae),
3. Acaena spp. (Rosaceae),
4. Azorella spp. (Umbelliferae)
5. Deschampsia antartica
6. Brachythecium antarticum
7. Grimmia sp.
8. Andreaea sp.
9. Agrostis antartica
10. Lycopodium saururus, dll.


B. Tipe Vegetasi di Daerah Temperate
Daerah temperate ini juga dikatakan daerah beriklim sedang, dimana daerah ini memiliki empat musim, yaitu musim dingin, semi, panas, dan gugur.
Beberapa macam tipe vegetasi yang ada di daerah ini meliputi :
1. Hutan gugur (hutan meranggas)
Ciri-ciri :
a. Curah hujan merata sepanjang tahun, 75 - 100 cm/tahun.
b. Mempunyai 4 musim: musim panas, musim dingin, musim gugur dan musim semi
c. Keanekaragaman jenis tumbuhan lebih rendah daripada bioma hutan tropis.
d. Musim panas pada bioma hutan gugur, energi radiasi matahari yang diterima cukup tinggi, demikian pula dengan presipitasi (curah hujan) dan kelembaban. Kondisi ini menyebabkan pohon-pohon tinggi tumbuh dengan baik, tetapi cahaya masih dapat menembus ke dasar, karena dedaunan tidak begitu lebat tumbuhnya.
e. Pada saat menjelang musim dingin, radiasi sinar matahari mulai berkurang, subu mulai turun. Tumbuhan mulai sulit mendapatkan air sehingga daun menjadi merah, coklat akhirnya gugur, sehingga musim itu disebut musim gugur.
f. Pada saat musim dingin, tumbuhan gundul dan tidak melakukan kegiatan fotosentesis. Menjelang musim panas, suhu naik, salju mencair, tumbuhan mulai berdaun kembali (bersemi) sehingga disebut musim semi.


2. Padang Rumput
Lebih selatan dari daerah hutan meranggas yang curah hujannya tidak begitu besar dengan suhu yang lebih tinggi, terdapat vegetasi tanpa pohon yang disebut padang rumput. Vegetasi ini terdapat di daerah-daerah luas di Eropa(Honggaria, Rusia Selatan), Asia dan Amerika Utara. Sesuai dengan keadannya, daerah padang rumput kemudian dikembangkan sebagai pusat-pusat peternakan (Amerika Serikat dan Argentina). Sedangkan didaerah lain untuk pertanian,misalnya di Rusia Selatan(gandum dan kapas), padang rumput membentang mulai dari daerah tropis sampai dengan daerah beriklim sedang, seperti Hongaria, Rusia Selatan, Asia Tengah, Amerika Selatan, Australia.
Ciri-ciri:
1. Curah hujan antara 25 - 50 cm/tahun, di beberapa daerah padang rumput curah hajannya dapat mencapai 100 cm/tahun.
2. Curah hujan yang relatif rendah turun secara tidak teratur.
3. Turunnya hujan yang tidak teratur tersebut menyebabkan porositas dan drainase kurang baik sehingga tumbuh-tumbuhan sukar mengambil air.


Di daerah ini terdapat berbagai macam spesies tumbuhan, seperti :
1. Andropogon gerardi
2. Panicum virgatum
3. Sorghastrum nutans
4. Stipa comata
5. Agropyron smithii
6. Buchloe dactyloides
7. dll.


KEPUSTAKAAN
McNaughton, S.J. 1990. Ekologi Umum. Yogyakarta : UGM Press.
Odum, Eugene P. 2000. Dasar-dasar Ekologi. Jakarta : Erlangga.
Polunin, Nicholas. 1990. Pengantar Geografi Tumbuhan dan Beberapa Ilmu
Serumpun. Yogyakarta : UGM Press.
Ramli, Dzaki. 1989. Ekologi. Jakarta : Depdikbud Dirjen PT.


PB09

KOMUNITAS TUMBUHAN


KOMUNITAS TUMBUHAN

Konsep komunitas dan sifatnya.
Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain. Komunitas memiliki derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan dengan individu dan populasi. (Wolf, 1990.)
Berdasarkan pandangan individualistik, komunitas tumbuhan terdiri dari kelompok tumbuhan yang masing-masing mempertahankan individualitasnya. Namun adanya individualitas tumbuhan bukan berarti menghambat adanya hubungan tertentu diantara tumbuhan dalam komunitas. Hubungan ini menurut  Walter digolongkan dalam tiga kelas yaitu :
1.        Pesaing Langsung (Direct Competitors), terjadi persaingan terhadap sumber daya lingkungan yang sama karena menempati strata atas maupun bawah dalam suatu lahan yang sama.
2.        Spesies Dependen (Dependent Species), spesies yang hanya dapat hidup pada niche tertentu hanya dengan hadirnya tumbuhan lain. Sebagai contoh tumbuhan lumut yang hanya dapat tumbuh pada kondisi mikroklimat tertentu yang dihasilkan oleh tegakan pohon.
3.        Spesies Komplementer (Compementary Species), spesies yang tidak saling bersaing dengan spesies lain karena persyaratan hidup cukup berhasil/ puas dengan menempati strata yang berbeda atau dengan ritme musiman yang berbeda.

Pemberian nama komunitas dapat berdasarkan :
1) Bentuk atau struktur utama seperti jenis dominan, bentuk hidup atau indikator lainnya seperti hutan pinus, hutan agathis, hutan jati, atau hutan Dipterocarphaceae, dapat juga berdasarkan sifat tumbuhan dominan seperti hutan sklerofil.
2) Berdasarkan habitat fisik dari komunitas, seperti komunitas hamparan lumpur, komunitas pantai pasir, komunitas lautan,dll.
3) Berdasarkan sifat-sifat atau tanda-tanda fungsional misalnya tipe metabolisme komunitas. Berdasarkan sifat lingkungan alam seperti iklim, misalnya terdapat di daerah tropik dengan curah hujan yang terbagi rata sepanjang tahun, maka disebut hutan hujan tropik. (Rahardjanto.2001)
Term komunitas dapat diterapkan pada diterapkan pada satu stranum tumbuhan area lokal, seperti herba, semai pohon, dan lumut daun pada lantai tepi hutan atau daerah yang sangat luas (tipe vegetasi) atau plot vegetasi sementara yang vegetasinya dapat berubah secara cepat; atau vegetasi yang stabil yang hampir tak mengalami perubahan selama ratusan tahun.
Asosiasi adalah tipe komunitas khusus yang mempunyai syarat: (a) komposisi secara relatif konsisten, (b) fisiognomi uniform dan, (3) suatu agihan yang mencirikan habitat khusus.
Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.
Komunitas biotik adalah kumpulan populasi-populasi apa saja yang hidup dalam daerah atau habitat fisik yan telah ditentukan hal tersebut ditentukan hal tersebut merupakan satuan yang diorganisir sedemikian bahwa dia mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen-komponen individu dan fungsi-fungsi sebagai suatu unit melalui transformasi metabolic yang bergandengan. (Syamsurizal,2000)

Dalam analisa komunitas, dikenal istilah keanekaragaman spesies. Dalam menentukan indeks keragaman tersebut, ada beberapa metode analisa yang dapat digunakan, antara lain Indeks Margalelef, Indeks Simpson, Indeks Menhenick, Indeks Brillouin, dan Indeks Shanon. Sedangkan indeks similiaritas biasanya dianalisa dengan indeks equitabilitas (e) dengan nilai kisaran antara 0-1. 

Ada tujuh faktor yang mempengaruhi keanekaragaman spesies, yaitu :
1. Heterogenitas habitat
2. kompetisis
3. ekologi lingkungan
4. predasi
5. stabilitas lingkungan
6. habitat yang produktif
7. Waktu


Mangrove merupakan komunitas tumbuhan berkayu yang khas terdapat di sepanjang pantai terlindung atau muara sungai yang dipengaruhi oleh pasang surut air laut. Hutan mangrove sering pula disebut sebagai hutan pantai, hutan pasang surut, hutan payau atau hutan bakau. Mangrove berfungsi menjebak dan menahan sedimen, merendam badai pantai dan energy gelombang, memberi perlindungan bagi juvenile ikan dan biota avertebrata dan mengasimilasi nutrient untuk dikonversi menjadi jaringan tumbuhan, control terhadap erosi, menetralisasi limbah cair dan sebagai sanctuary kehidupan liar ( Clark, 1982). Di Kabupaten Supiori, hutan mangrove ditemukan di sepanjang pesisir Distrik Supiori Timur sampai Distrik Supiori Selatan dan beberapa pulau kecil di Distrik Supiori Selatan.

Pemandangan hutan mangrove yang indah sepanjang pesisir sungai. Tercipta nuansa petualangan selama perjalanan menyusuri hutan mangrove. Rangkaian perjalanan dari Desa Doubwo melewati kawasan hutan mangrove. Terdapat begitu banyak burung kakaktua, Nuri, ikan bawal yang bermain hingga ke permukaan muara sungai. Nuansa transportasi sungai di sepanjang hutan mangrove. (http://zaifbio.wordpress.com/2009/01/30/deskripsi-dan-analisis-vegetasi-floristika-dan-non-floristika/ )

StrukturKomunitas
Analisis komunitas tumbuhan merupakan suatu cara mempelajari susunan atau komposisi jenis dan bentuk atau struktur vegetasi. Dalam ekologi hutan, satuan vegetasi yang dipelajari atau diselidiki berupa komunitas tumbuhan yang merupakan asosiasi konkret dari semua spesies tetumbuhan yang menempati suatu habitat. Hasil analisis komunitas tumbuhan diajikan secara deskripsi mengenai komposisi spesies dan struktur komunitasnya. Struktur suatu komunitas tidak hanya dipengaruhi oleh hubungan antarspesies, tetapi juga oleh jumlah individu dari setiap spesies organisme. Hal yang demikian itu menyebabkan kelimpahan relatif suatu spesies dapat mempengaruhi fungsi suatu komunitas, bahkan dapat memberikan pengaruh pada keseimbangan sistem dan akhirnya berpengaruh pada stabilitas komunitas itu sendiri (Heddy, dkk., 1986).
Untuk kepentingan analisis komunitas tumbuhan diperlukan parameter kualitatif. Adapun beberapa parameter kualitatif komunitas tumbuhan antara lain fisiognomi, fenologi, periodisitas, stratifikasi, kelimpahan, penyebaran, daya hidup, dan bentuk pertumbuhan. Sedangkan parameter kuantitatif dalam analisis komunitas tumbuhan adalah densitas, frekuensi, luas penutupan,indeks nilai penting (INP), perbandingan nilai penting (summed dominance ratio), indeks dominansi, indeks keanekaragaman, indeks kesamaan, dan homogenitas suatu komunitas. (Setiadi, 1983).
Struktur komunitas tumbuhan memiliki sifat kualitatif dan kuantitatif.
1) Kualitatif, seperti komposisi, bentuk hidup, fenologi dan vitalitas. Vitalitas menggambarkan kapasitas pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme.

2) Kuantitatif, seperti Frekuensi, densitas dan densitas relatif. Frekuensi kehadiran merupakan nilai yang menyatakan jumlah kehadiran suatu spesies di dalam suatu habitat. Densitas (kepadatan) dinyatakan sebagai jumlah atau biomassa per unit contoh, atau persatuan luas/volume, atau persatuan penangkapan

3) Sintesis adalah proses perubahan dalam komunitas yang berlangsung menuju ke satu arah yang berlangsung lambat secara teratur pasti terarah dan dapat diramalkan. Suksesi-suksesi terjadi sebagai akibat dari modifikasi lingkungan fisik dalam komunitasnya dan memerlukan waktu. Proses ini berakhir dengan sebuah komunitas atau ekosistem yang disebut klimas. Dalam tingkat ini komunitas sudah mengalami homoestosis. Menurut konsep mutahir suksesi merupakan pergantian jenis-jenis pioner oleh jenis-jenis yang lebih mantap yang sangat sesuai dengan lingkungannya. (Syamsurizal,2000)
Komunitas tumbuhan hutan memiliki dinamika atau perubahan, baik yang disebabkan oleh adanya aktivitas alam maupun manusia. Aktivitas manusia yang berkaitan dengan upaya memanfaatkan hutan sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan kondisi komunitas tumbuhan yang ada di dalamnya. Aktivitas tumbuhan di dalam hutan dapat bersifat merusak juga bersifat memperbaiki komunitas tumbuhan hutan. Aktivitas manusia dalam hutan yang bersifat merusak komunitas tumbuhan misalnya penebangan pohon, pencurian hasil hutan, peladangan liar, penggembalaan liar, pembakaran hutan, dan perambakan dalam kawasan hutan. Adapun aktivitas manusia yang bersifat memperbaiki kondisi komunitas tumbuhan hutan adalah kegiatan reiboisasi dalam rangka merehabilitasi areal kosong bekas penebangan, areal kosong bekas kebakaran, maupun reiboisasi dalam rangka pembangunan hutan tanaman industri (Soemarwoto, 1983).

Keanekaragaman/ Diversitas Jenis
Soetjipta, 1993 (dalam Ngurah Rai, 1999), menyebutkan ada lima ciri komunitas yang telah diukur dan dikaji adalah:
1.      Keragaman spesies, dapat dipermasalahkan spesies hewan dan tumbuhan yang manakah yang hidup dalam suatu komunitas tertentu. Deskripsi spesies semacam ini merupakan ukuran sederhana bagi kekayaan spesies atau keragaman spesies/ diversitas spesies.
2.      Bentuk dan struktur pertumbuhan. Tipe komunitas dapat diberikan dengan kategori utama bentuk pertumbuhan: pohon, perdu atau lumut selanjutnya ciri ini dapat di rinci ke dalam kategori bentuk pertumbuhan lebih kecil misalnya pohon yang berdaun lebar dan pohon berdaun jarum. Bentuk pertumbuhan ini dapat menentukan stratifikasi.
3.      Dominansi. Dapat diamati bahwa tidak semua spesies dalam komunitas sama penting menentukan sifat komunitas. Dari beratus spesies yang mungkin ada di dalam suatu komunitas, secara nisbi hanya beberapa saja yang berpengaruh mampu mengendalikan komunitas tersebut. Spesies dominan adalah spesies yang secara ekologik sangat berhasil dan yang mampu menentukan kondisi yang diperlukan untuk pertumbuhannya.
4.      Kelimpahan nisbi. Proporsi spesies yang berbeda dalam spesies dapat ditentukan.
5.      Struktur tropik. Hubungan makanan spesies dalam komunitas akan menentukan arus energi dan bahan dari tumbuhan ke herbivora ke karnivora.


Sifat komunitas
 Barbour et al, 1987 (dalam Ngurah Rai, 1999) menyebutkan ada delapan sifat/atribut komunitas tumbuhan seperti tampak pada tabel di bawah ini.

1.    Fisiognom
-       Arsitek
-       Life form
-       Cover, leaf area index (LAI)
-       Fenologi 5.    Daur nutrient
-       Kebutuhan nutrien
-       Kapasitas penyimpanan
-       Laju kembalinya nutrien ke tanah
-       Efisiensi penahanan nutrien pada daur nutrien.

2.    Komposisi spesies
-       Spesies karakteristik
-       Spesies umum dan kebetulan
-       Arti penting relatif (cover, densitas dll) 6.    Perubahan atau perkembangan
-       Menurut waktu
-       Suksesi
-       Stabilitas
-       Tanggapan terhadap perubahan klimatik
-       Evolusi 
3.    Pola spesies
-       Spatial/ ruang
-       Luas niche dan tumpang tindih
7.    Produktivitas
-       Biomassa
-       Produktivitas bersih tahunan
-       Efesiensi produktivitas bersih
-       Alokasi produksi bersih
4.    Diversitas spesies
-       Kekayaan
-       Kerataan
-       Diversitas (dalam stand dan diantara stand) 8.    Kreasi dan pengendalian lingkungan mikro
(Syafei. 1990)


1.1 Fisiognomi, Komposisi Spesies, dan Pola Ruang/Spatial 
a. Fisiognomi 
Fisiognomi adalah kenampakan eksternal vegetasi, struktur vertikal(arsitektur atau struktur biomas), dan bentuk pertumbuhan (growth form) taksa dominan. Fisiognomi merupakan sifat yang muncul pada komunitas.
Struktur vertikal mengacu pada tinggi dan penutupan kanopi tiap lapisan dalam komunitas.
Penutupan kanopi dinyatakan sebagai persentase tanah yang ditutupi oleh kanopi bila kanopi diproyeksikan kebawah. Penutupan dapat juga dinyatakan sebagai leaf area index (LAI). 
b. Komposisi spesies 
Komposisi spesies suatu komunitas juga sangat penting, karena komunitas ditentukan atas dasar floristik. Kelimpahan(abundance), arti penting (importance), atau dominasi tiap spesies dapat dinyatakan secara numerical, sehingga komunitas dapat dibandingkan atas dasar kesamaan dan perbedaan spesies.
c. Susunan ruang
Susunan ruang spesies adalah sifat lain komunitas. Individu dalam suatu spesies dapat tertagih(distribute) secara acak atau mengelompok/clumped (interaksi positif atau netral ), atau terlalu memancar/overdispered(interaksi negatif).
Arti penting interaksi spesies dan interdependensi terhadap komunitas memperkirakan bahwa komunitas stabil, memperlihatkan lebih banyak terjadinya interaksi spesies pada komunitas transient/sementara. 
Pemberian komunitas berdasarkan pada fisiognomi, life form, tumpang  tindih niche, adalah berguna karena kemungkinana perbandingan stand yang terpisah jauh yang mempunyai persamaan floristik atau tidak.

1.2 Kekayaan spesies, kemerataa/enenness, dan keanekaragaman/ Diversitas  
a. Kekayaan spesies 
Kekayaan spesies adalah jumlah spesies dalam area pada suatu komunitas, tiap spesies nampaknya tidak mempunyai jumlah individu sama.
b. Agihan individu antar spesies disebut kemerataan atau ekuibilitas spesies. Kemerataan menjadi maksimum jika semua spesies mempunyai jumlah individu yang sama.
c. Diversitas spesies adalah gabungan kekayaan dan kemerataan. Diversitas spesies adalah kekayaan spesies yang di bobotkan leh kemerataan spesies, dan terdapat rumus untuk menyatakan bilangan indeks tunggal. Secara biologis, diversitas adalah heterogenitas populasi suatu omunitas.

1.3 Daur dan pola alokasi
Enam bela elemen telah dikenal sebagai persyaratan untuk pertumbuhan normal dan perkembangan tumbuhan tinggi: karbon, hidrogen, fosfor, oksigen, manganese, tembaga, potassium, sulfur, magnesium, besi, boron, seng, chlorine dan molybdenum.
Komunitas membutuhkan nutrien essensial yan tidak sama dari tamah. Komunitas memiliki laju/rate pengambilan nutrien  ke tanah yang efisiensi daur tumbuhan-tanah-tumbuhan yanh berbeda. Nutrien dikembalikan ke tanah dalam bentuk jatuhkan serasah.
Komunitas suksesional awal memerlukan sedikit nitrogen tanah yang mengakumulasi sangat sedikit nutrien di dalam jaringannya dan mengembalikan nutrien dengan cepat ke tanah.

Stabilitas 
Stabilitas adalah term yang kompleks dan mencakup beberapa kualitas objek. Komponen stabilitas yang pertama adalah resistensi, yaitu kemampuan komunitas untuk tetap tak berubah selama periode stres. Yang kedua adalah daya lenting/Resilience adalah kemampuan komunitas untuk kembali kebentuk normal setelah terjadi proses gangguan atau stres. Yang ketiga adalah tinggal-perbedaan/variance maksudnya kemampuan komunitas untuk memperlihatkan kelimpahan yang tinggi pada beberapa spesies. Yang ke empat adalah kegigihan/persintenc yaitu kemampuan untuk relatif tak berubah sepanjang waktu.

2. Macam Interaksi

Dalam komunitas, semua organisme merupakan bagian dari komunitas dan antara komponennya saling berhubungan melalui keragaman interaksinya. Interaksi antarkomponen ekologi dapat merupakan interaksi antarorganisme, antarpopulasi, dan antarkomunitas.

1. Interaksi antar organisme
Semua makhluk hidup selalu bergantung kepada makhluk hidup yang lain. Tiap individu akan selalu berhubungan dengan individu lain yang sejenis atau lain jenis, baik individu dalam satu populasinya atau individu-individu dari populasi lain. 
Interaksi demikian banyak kita lihat di sekitar kita.

Interaksi antar organisme dalam komunitas ada yang sangat erat dan ada yang kurang erat. Interaksi antarorganisme dapat dikategorikan sebagai berikut.

1) Netral adalah hubungan tidak saling mengganggu antarorganisme dalam habitat yang sama yang bersifat tidak menguntungkan dan tidak merugikan kedua belah pihak, disebut netral. Contohnya : antara capung dan sapi.

2) Predasi adalah hubungan antara mangsa dan pemangsa (predator). Hubungan ini sangat erat sebab tanpa mangsa, predator tak dapat hidup. Sebaliknya, predator juga berfungsi sebagai pengontrol populasi mangsa. Contoh : Singa dengan mangsanya, yaitu kijang, rusa,dan burung hantu dengan tikus.

3) Parasitisme adalah hubungan antarorganisme yang berbeda spesies, satu organisme hidup pada organisme lain dan mengambil makanan dari hospes/inangnya sehingga bersifat merugikan inangnya. 
Kita mengklasifikasikan pemangsaan dan parasitisme bersama-sama di sini karena keduanya merupakan interaksi +/- dalam komunitas. Dalam parasitisme, satu organisme mendapatkan makanannya dari organism lain, inangnya, yang tersakiti atau paling tidak kehilangan sebagian energy atau materi dalam proses tersebut.Contoh : benalu dengan pohon inang. (Campbell.2004)

4) Komensalisme adalah merupakan hubunganantara dua organisme yang berbeda spesies dalam bentuk kehidupan bersama untuk berbagi sumber makanan; salah satu spesies diuntungkan dan spesies lainnya tidak dirugikan. Contohnya anggrek dengan pohon yang ditumpanginya.

5) Mutualisme adalah hubungan antara dua organisme yang berbeda spesies yang saling menguntungkan kedua belah pihak. Contoh, bakteri Rhizobium yang hidup pada bintil akar kacang-kacangan.

2. Interaksi Antarpopulasi
Antara populasi yang satu dengan populasi lain selalu terjadi interaksi secara langsung atau tidak langsung dalam komunitasnya.Contoh interaksi antarpopulasi adalah sebagai berikut.
Alelopati merupakan interaksi antarpopulasi, bila populasi yang satu menghasilkan zat yang dapat menghalangi tumbuhnya populasi lain. Contohnya, di sekitar pohon walnut (juglans) jarang ditumbuhi tumbuhan lain karena tumbuhan ini menghasilkan zat yang bersifat toksik. Pada mikroorganisme istilah alelopati dikenal sebagai anabiosa.Contoh, jamur Penicillium sp. dapat menghasilkan antibiotika yang dapat menghambat pertumbuhan bakteri tertentu.
Kompetisi merupakan interaksi antarpopulasi, bila antarpopulasi terdapat kepentingan yang sama sehingga terjadi persaingan untuk mendapatkan apa yang diperlukan. Contoh, persaingan antara populasi kambing dengan populasi sapi di padang rumput.

3. Interaksi Antar Komunitas

Komunitas adalah kumpulan populasi yang berbeda di suatu daerah yang sama dan saling berinteraksi. Contoh komunitas, misalnya komunitas sawah dan sungai. Komunitas sawah disusun oleh bermacam-macam organisme, misalnya padi, belalang, burung, ular, dan gulma. Komunitas sungai terdiri dari ikan, ganggang, zooplankton, fitoplankton, dan dekomposer. Antara komunitas sungai dan sawah terjadi interaksi dalam bentuk peredaran nutrien dari air sungai ke sawah dan peredaran organisme hidup dari kedua komunitas tersebut.
Interaksi antarkomunitas cukup komplek karena tidak hanya melibatkan organisme, tapi juga aliran energi dan makanan. Interaksi antarkomunitas dapat kita amati, misalnya pada daur karbon. Daur karbon melibatkan ekosistem yang berbeda misalnya laut dan darat. 

4. Interaksi Antarkomponen Biotik dengan Abiotik

Interaksi antara komponen biotik dengan abiotik membentuk ekosistem. Hubunganantara organisme dengan lingkungannya menyebabkan terjadinya aliran energi dalam sistem itu. Selain aliran energi, di dalam ekosistem terdapat juga struktur atau tingkat trofik, keanekaragaman biotik, serta siklus materi. 
Dengan adanya interaksi-interaksi tersebut, suatu ekosistem dapat mempertahankan keseimbangannya. Pengaturan untuk menjamin terjadinya keseimbangan ini merupakan ciri khas suatu ekosistem. Apabila keseimbangan ini tidak diperoleh maka akan mendorong terjadinya dinamika perubahan ekosistem untuk mencapai keseimbangan baru. (Syamsurizal.2000)



Kesimpulan 

1. Komunitas ialah kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.
2. Komunitas biotik adalah kumpulan populasi-populasi apa saja yang hidup dalam daerah atau habitat fisik yan telah ditentukan hal tersebut merupakan satuan yang diorganisir sedemikian bahwa dia mempunyai sifat-sifat tambahan terhadap komponen-komponen individu dan fungsi-fungsi sebagai suatu unit melalui transformasi metabolic yang bergandengan.
3. Struktur komunitas 
Kualitatif, seperti komposisi, bentuk hidup, fenologi dan vitalitas. Vitalitas menggambarkan kapasitas pertumbuhan dan perkembangbiakan organisme.
Kuantitatif, seperti Frekuensi, densitas dan densitas relatif.
4. Sifat komunitas 
Fisiognomi 
Komposisi spesies 
Susunan ruang
Kekayaan spesies 
Agihan individu antar spesies 
Diversitas spesies 
Daur dan pola alokasi



DAFTAR PUSTAKA

Campbell, Neil A. 2004. Biologi. Jakarta : Erlangga

Eugene. P. Odum. 1996. Dasar-dasar Ekologi. Yogyakarta : Gajah Mada University Press
Heddy, S., S.B Soemitro, dan S. Soekartomo. 1986. Pengantar Ekologi. Jakarta : Rajawali
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Jakarta : Bumi Aksara
Rahardjanto, Abdulkadir. 2001. Ekologi Umum. Malang : UNM Press
Setiadi, Y. 1983. Pengertian Dasar Tentang Konsep Ekosistem. Bogor : Fakultas kehutanan IPB
Soemarwoto, O. 1983. Ekologi Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta : Djambanan
Syafei, Eden Surasana. 1990. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Bandung : ITB

Syamsurizal. 1999. Pengantar Ekologi Tumbuhan. Padang: UNP press

Wolf, Larry dan S.J McNaughton. 1990. Ekologi Umum. Yogyakarta : UGM press

http://zaifbio.wordpress.com/2009/01/30/deskripsi-dan-analisis-vegetasi-floristika-dan-non-floristika

PB09

KLIMAKS

KLIMAKS


A. PENGERTIAN KLIMAKS
Tingkat terakhir dari proses suksesi dicapai ketika komunitas tersebut stabil. Komunitas terakhir ini biasanya relatif stabil, tahan lama, jenis makhluk hidupnya lebih banyak dan lebih kompleks, dan di dalamnya berlangsung berbagai interaksi antar anggota komunitas. Komunitas demikian disebut komunitas klimaks. Komunitas klimaks merupakan akhir dari serangkaian proses suksesi. Artinya, komunitas demikian dapat dicapai setelah melalui beberapa tahap suksesi. Komunitas klimaks adalah komunitas terakhir dan stabil (tidak berubah) yang mencapai keseimbangan dengan lingkungannya. Komunitas klimaks ditandai dengan tercapainya keseimbangan yaitu suatu komunitas yang mampu mempertahankan kestabilan komponennya dan dapat bertahan dari berbagai perubahan dalam system secara keseluruhan. Tiap-tiap tahap suksesi tersebut disebut tahap suksesional, sedangkan seluruh rangkaian tahapan suksesi dikenal dengan istilah sere. Beberapa ciri komunitas klimaks antara lain adalah sebagai berikut.
1. Mampu menyokong kehidupan seluruh spesies yang hidup di dalamnya.
2. Mengandung lebih banyak makhluk hidup dan macam – macam bentuk interaksi dibandingkan komunitas suksesional.
Setelah melalui beberapa tahapan perkembangan ekosistem atau sere, suatu ekosistem dapat mencapai tahapan akhir klimaks atau dapat pula dianggap sebagai puncak perkembangan ekosistem. Salah satu ciri pada komunitas klimaks yaitu dengan tidak terdapatnya penumpukan zat organik netto tahunan. Hal ini disebabkan karena produksi tahunan komunitas seimbang dengan konsumsi tahunan.
Banyak ahli berpendapat bahwa iklim klimaks pada suatu wilayah belum tentu dapat dicapai walau komunitas yang sudah “mantap” sekalipun, karena masih menunjukkan adanya perubahan, penyesuaian dan pembusukan. Hal ini didasari oleh kenyataan bahwa perubahan suatu komunitas dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang terdapat dalam komunitas tersebut. Berdasarkan hal tersebut telah dipakai kesepakatan bahwa hampir tidak mungkin pada suatu wilayah mencapai iklim klimaks, sehingga iklim klimaks tunggal merupakan komunitas teoritis yang dituju semua suksesi dalam perkembangan pada suatu daerah, asalkan keadaan lingkungan fisik secara umum tidak terlalu ekstrem sehingga dapat mampu mempengaruhi iklim lingkungan. Umumnya suksesi berakhir pada klimaks edaphik, dengan hanya terkait pada masing-masing pengaruh faktor pembatas fisik pada wilayah setempat.
Meskipun suksesi pada suatu ekosistem untuk dapat mencapai klimaks membutuhkan waktu yang tidak sebentar, namun cepat lambatnya masih tergantung pula oleh tingkatan suksesi yang terjadi kepadanya. secara umum terdapat dua macam ekosistem suksesi yaitu, ekosistem suksesi primer dan ekosistem suksesi sekunder. Ekosistem suksesi primer lebih dinyatakan pada berkembangnya ekosistem tersebut melalui substrat yang baru. Artinya kehidupan yang ada pada ekosistem tersebut setelah perlakuan benar-benar dimulai dari nol, dan harus dimulai dari kerja organisme pionir dengan segala perlakuan dari faktor pembatas fisik yang ada. Sedangkan ekosistem suksesi sekunder berkembang setelah ekosistem alami rusak total tetapi dimulai dengan tidak terbentuk substrat yang baru, atau dapat dianggap sebagai dimulainya kehidupan baru setelah adanya “gangguan” pada ekosistem alami. 
(http://massofa.wordpress.com/2008/09/23/sejarah-dan-ruang-lingkup-ekologi-dan-ekosistem/ksesi 
Contoh suksesi sekunder salah satunya yaitu kebakaran hutan tahun 1994 yang terjadi di Bukit Pohen Cagar Alam Batukahu telah menyisakan kerusakan sebagian areal kawasan konservasi. Restorasi ekologi dipertimbangkan sebagai salah satu alternatif untuk mengatasi pemulihan kerusakan kawasan tersebut. Dalam upaya menyusun model restorasi yang sesuai untuk kawasan Bukit Pohen, telah dilakukan survey dilapangan mengenai kondisi vegetasinya. Hasil survey lapangan menunjukkan bahwa sedang terjadi suksesi sekunder di kawasan ini dengan kehadiran beberapa jenis indikator seperti Eupatorium, Melastoma dan Homalathus. Spesies lokal penting seperti Dacrycarpus imbricatus juga ditemukan di bekas areal yang terbakar dan mulai ber-regenerasi. Di dalam makalah ini juga didiskusikan usulan konsep restorasi yang terintegrasi untuk membantu memulai perbaikan ekosistem di kawasan ini. (Sutomo, 2009. Jurnal Biologi XIII (2) : 45)
Di dalam kondisi klimaks ini spesies-spesies itu dapat mengatur dirinya sendiri dan dapat mengolah habitat sedemikian rupa sehingga cenderung untuk melawan inovasi baru. Di dalam konsep klimaks ini Clements berpendapat:
1. Suksesi dimulai dari kondisi lingkungan yang berbeda, tetapi akhirnya punya klimaks yang sama.
2. Klimaks hanya dapat dicapai dengan kondisi iklim tertentu, sehingga klimaks dengan iklim itu saling berhubungan. Dan kemudian klimaks ini disebut klimaks klimatik.
3. Setiap kelompok vegetasi masing-masing mempunyai klimaks.
Karena iklim sendiri menentukan pembentukan klimaks maka dapat dikatakan bahwa klimaks klimatik dicapai pada saat kondisi fisik di sub stratum tidak begitu ekstrem untuk mengadakan perubahan terhadap kebiasaan iklim di suatu wilayah. Kadang-kadang klimaks dimodifikasi begitu besar oleh kondisi fisik tanah seperti topografi dan kandungan air. Klimaks seperti ini disebut klimaks edafik. Secara relatif vegetasi dapat mencapai kestabilan lain dari klimatik atau klimaks yang sebenarnya di suatu wilayah. Hal ini disebabkan adanya tanah habitat yang mempunyai karakteristik yang tersendiri.
Jadi, di dalam wilayah tertentu dapat dikenali adanya:
1. Klimaks tunggal yang klimatiks, yaitu yang bersifat berkeseimbangan dengan iklim secara umum
2. Klimaks edafik yang cacahnya berbeda-beda, yang termodifikasi oleh kondisi substrat lokal. 
Klimaks klimatik ialah komunitas teoretik yang merupakan kecenderungan tujuan semua perkembangan suksesional di wilayah manapun, komunitas klimatik ini akan dapat terjadi jika kondisi fisik substrat tidak terlalu ekstrem. Suksesi akan berakhir pada suatu klimaks yang edafik pada topografi, tanah, air, api, atau gangguan lain sehingga klimaks klimatik tak dapat berkembang. Bila komuitas stabil, tetapi bkan klimaks klimatik atau klimkas edafik, dipelihara oleh manusia dan hewan ternaknya maka dapat dinamakan disklimaks (=klimaks gangguan) atau subklimaks anthropogenik. (Soetjipta, 1993 :192) 
Adakalanya vegetasi terhalang untuk mencapai klimaks, oleh karena beberapa faktor selain iklim. Misalnya adanya penebangan, dipakai untuk penggembalaan hewan, tergenang dan lain-lain. Dengan demikian vegetasi dalam tahap perkembangan yang tidak sempurna (tahap sebelum klimaks yang sebenarnya) baik oleh faktor alam atau buatan. Keadaan ini disebut sub klimaks. Komunitas tanaman sub klimaks akan cenderung untuk mencapai klimaks sebenarnya jika faktor-faktor penghalang/penghambat dihilangkan. 
Telah dijelaskan bahwa akhir suksesi adalah terbentuknya suatu komunitas klimaks. Berdasarkan tempat terbentuknya, terdapat tiga jenis komunitas klimaks sebagai berikut : 
1. Hidroser yaitu sukses yang terbentuk di ekosistem air tawar. 
2. Haloser yaitu suksesi yang terbentuk di ekosistem air payau
3. Xeroser yaitu sukses yang terbentuk di daerah gurun. 
Pembentukkan komunitas klimaks sangat dipengaruhi oleh musim dan biasanya komposisinya bercirikan spesies yang dominan. (http://sobatbaru.blogspot.com/2008/06/pengertian-suksesi.html)
Suksesi meliputi pengorganisasian sendiri dan perubahan dimana ekosistem – ekosistem menjadi mantap dan kadang-kadang kembali ke awal (retrogress). Suksesi dipertimbangkan berakhir apabila suatu pola ke suatu kondisi yang kurang terorganisir memulai melakukan  suksesi lagi. Klimaks adalah merupakan puncak pertumbuhan. (Odum, 1992 : 456)
Meskipun klimaks adalah relatif stabil dan bertahan lama sebagaimana kalau dibandingkan dengan tahap permulaannya, hal ini tidak diketahui bila suatu komunitas adalah komplit ‘self pertuating’ dan permanen. “Catastrophes” seperti kilat, kebakaran, dan periode yang panjang dari kekeringan dapat memperpendek jangka hidup dari suatu komunitas. Sebagai contoh, bila suatu padang rumput menunjukkan menunjukkan suatu seri dari tahun kekeringan, ia akan kembali ke belakang pada tahap suksesi awalnya mengandung lebih dari tahunannya dan perenial kehidupan yang pendek. Di sana beberapa kejadian yang menunjukkan bahwa suatu proses umur kemungkinan mengambil tempat pada hutan yang telah lama. Jadi, pohon-pohon muda mungkin tidak menggantikan pohon yang lebih dewasa yang mati, daur mineral dan aliran energi rata-rata akan menjadi turun secara lambat. Beberapa ahli ekologi menyatakan bahwa pada klimaks yang lama dapat menjadi mati dan dapat digantikan oleh komunitas yang muda, kemungkinannya berbeda dalam peningkatan spesiesnya. Karena itu, tidak banyak diketahui tentang pada waktu sekarang dan lebih banyak studi perlu banyak dilakukan. (Ramli, 1989 : 175)
 Contoh vegetasi yang mengalami gangguan berupa kebakaran adalah pada hutan Bukit Pohen yang merupakan salah satu situs dari Cagar Alam Batukahu pada tahun 1994 mengalami kebakaran hutan dan mengakibatkan pengurangan luasan hutan sebesar 30,4 Ha. Untuk mendapatkan gambaran mengenai kondisi vegetasinya dilakukan survei pada titik pengamatan di lokasi yang terkena kebakaran. Seperti terlihat pada gambar, pada lokasi ini terdapat rumpang atau gap yang cukup luas akibat kehilangan penutupan tajuk hutan oleh api. Kondisi terbuka ini menyebabkan perubahan iklim mikro dan komposisi serta struktur vegetasinya. Hutan ini adalah hutan sekunder yang tengah berproses ke arah komunitas klimaks setelah terjadinya kebakaran hebat pada tahun 1994. 




B. TEORI KLIMAKS
Gangguan dapat menyebabkan modifikasi klimaks yang sebenarnya dan ini menyebabkan terbentuknya sub klimaks yang berubah (termodifikasi). Keadaan seperti ini disebut disklimaks (Ashby, 1971). Sebagai contoh vegetasi terbakar menyebabkan tumbuh dan berkembangnya vegetasi yang sesuai dengan tanah bekas terbakar tersebut. Odum (1961) mengistilahkan klimaks tersebut dengan pyrix klimaks. Tumbuh-tumbuhan yang dominan pada pyrix klimaks antara lain: Melastoma polyanthum, Melaleuca leucadendron dan Macaranga sp. Contohnya di Bukit Pohen, suksesi sekunder pada tahap fallow stage tengah berjalan, yang ditandai dari dominansikehadiran jenis-jenis seperti Eupatorium odoratum,Melastoma malabathricum Lantana dan Rubus. Van Steenis, (1972) juga melaporkan adanya dominasi jenis Eupatorium pada hutan sekunder muda bekas perkebunan teh di Cibodas. Demikan pula halnya di petak tujuh hutan lindung Kaliurang Yogyakarta yang bekas terbakar dijumpai pula Eupatorium sebagai dominansi jenis tumbuhan bawahnya (Sutomo, 2004). Demikian pula Melastoma yang memang kerap dijumpai hidup di lokasi-lokasi alami yang terganggu karena pembukaan lahan pada ketinggian tempat hingga 3000 m d.p.l . Selain terna, pada tingkat pohon juga banyak terdapat jenis pohon Homalanthus giganteus di bekas lahan kebakaran hutan di Bukit Pohen. 
Jika pergantian iklim secara temporer menghentikan perkembangan vegetasi sebelum mencapai klimaks yang diharapkan disebut pra klimaks (pre klimaks). Berhubungan dengan berbagai klimaks maka terdapat kekaburan arti klimaks. Oleh karena terjadi ketidak sepakatan kemudian berkembang tiga teori klimaks dengan argumentasi masing-masing, yaitu sebagai berikut:
a. Teori Monoklimaks
Dalam teorinya pada tahun 1916 Clements menyatakan bahwa komunitas klimaks untuk suatu kawasan semata-mata merupakan fungsi dari iklim. Dia memperkirakan bahwa pada waktu yang cukup dan bebas dari berbagai pengaruh gangguan luar, suatu bentuk umum vegetasi klimaks yang sama akan terbentuk untuk setiap daerah iklim yang sama. Dengan demikian iklim sangat menentukan batas dari formasi klimaks. Pemikiran ini dipahami sebagai teori monoklimaks dan diterima secara luas oleh pakar botani pada pertengahan awal dari abad ini. 
Clements dan para pendukungnya dari teori monoklimaks ini tidak melihat kenyatan bahwa banyak sekali variasi lokal dalam suatu daerah iklim tertentu. Variasi-variasi ini oleh Clements dianggap fasa seral meskipun berada dalam keadaan yang stabil. Clements menganut teori klimaks ini didasarkan pada keyakinan akan waktu yang panjang, dimana perbedaan-perbedaan local dari suatu vegetasi akibat kondisi tanahnya akan tetap berubah menjadi bentuk vegetasi regionalnya apabila diberi waktu yang cukup lama. Penamaan-penamaan khusus diberikan untuk menggambarkan perbedaan-perbedaan vegetasi local ini. Istilah ”subklimaks” dipergunakan untuk suatu fasa seral akhir yang berkepanjangan yang akhirnya akan berkembang juga ke bentuk klimaksnya. Sedangkan istilah ”disklimaks” dipakai untuk komunitas tumbuhan yang menggantikan bentuk klimaks setelah terjadi kerusakan.
Teori monoklimaks menyebutkan bahwa tiap-tiap wilayah hanya memiliki  satu komunitas klimaks dan semua komunitas akan menuju ke arah komunitas klimaks tersebut. Asumsi fundamental yang dicetuskan Clements, jikalau diberi waktu dan keterbatasan dari gangguan, maka akan dihasilkan suatu vegetasi klimaks yang tergolong ke dalam tipe umum yang sama  dan akan dimantapkan tanpa mengingat kondisi tenpat sebelumnya. Iklim, menurut Clements adalah faktor penentu untuk vegetasi dan klimaks di area manapun adalah suatu fungsi dari iklim di daerah itu.
Tetapi di area tertentu yang manapun akan didapati dan ada saja komunitas yang bukan klimaks seperti yang dimaksudkan oleh Clements, komunitas yang non-klimaks dan komunitas yang klimaks dalam keadaan ekuilibrium. Kedua jenis komunitas tersebut ditentukan oleh faktor topografi, edafik, dan biotik.oleh karena banyaknya pengecualian dan anyaknya peristilahan di dalam teori Celemnts mengenai monoklimaks ditentang oleh kebanyakan ekologiwan. 




b. Teori Poliklimaks
Beberapa pakar ekologi berpendapat bahwa teori monoklimaks terlalu kaku. Tidak memberikan kemungkinan untuk mengangkat variasi lokal dalam suatu komunitas tumbuhan. Dalam tahun 1939 Tansley, seorang pakar botani dari Inggris mengusulkan suatu alternatif yaitu teori poliklimaks, dengan teori ini memungkinkan untuk mendapat mosaik dari bentuk klimaks dari setiap daerah iklim. Dia menyadari bahwa komunitas klimaks erat hubungannya dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya yaitu meliputi tanah  ;drainage ; dan berbagai faktor lainnya. Teori poliklimaks mengenal kepentingan dari iklim, tetapi faktor-faktor lain hendaknya jangan dipandang sebagai suatu faktor yang bersifat temporal. Teori poliklimaks mempunyai keuntungan yang besar, dalam memandang semua komunitas tumbuhan yang sifatnya stabil bisa dianggap sebagai bentuk klimaks. Teori poliklimaks ini ternyata pendekatannya tidak bersifat kaku, sehingga dapat diterima dikalangan pakar secara luas. (http://www.scribd.com/doc/49145571/Buku-ajar-EKTUM)
Teori poliklimaks menyebutkan bahwa banyak komunitas klimaks yang berbeda dapat dikenali dalam suatu area tertentu dan klimaks yang demikian itu dikendalikan oleh lengas dalam tanah, zat hara di dalam tanah, aktivitas makhluk hewan, dan faktor lainnya
Perbedaan mendasar dari teori monoklimaks dan poliklimaks adalah terletak dalam faktor waktu di dalam pengukuran nisbi. Penganut monoklimaks mengatakan bahwa jika diberi waktu secukupnya, suatu komunitas tunggal akan berkembang bahkan dapat menguasai klimaks edafik. Pertanyaannya adalah waktu yang digunakan apakah skala geologik atau skala ekologik. Butir penting di sini adalah bahwa iklim berfluktuasi dan tidak pernah konstan. Jadi kondisi ekuilibrium tidak pernah tercapai sebab vegetasi tidak di dalam iklim yang konstan tetapi di dalam iklim yang berubah. Iklim berubah pada skala waktu ekologik dan pada skala waktu geologik. Suksesi terjadi secara kontinu dalam vegetasi yang berubah dan dalam iklim yang berubah. (Soetjipta, 1993 :193)


c. Teori Potensi Biotik atau Pola Klimaks Hipotesis
Dalam tiga decade terakhir para pakar menyadari bahwa komunitas klimaks tidak ditentukan oleh hanya satu atau lebih faktor lingkungan yang berinteraksi terhadapnya, seperti iklim tanah; topografi; dan sebagainya. Dengan demikian sekian banyak bentuk klimaks akan terjadi sebagai akibat kombinasi dari kondisi-kondisi tadi. Perhatikan konsep faktor holosinotik atau holismal. Pemikiran ini pertama-tama diformulasikan oleh R.H. Whittaker pada tahun 1950-an. Ia menekankan bahwa komunitas alami teradaptasi terhadap seluruh pola dari faktor lingkungan, dan komunitas klimaks itu akan bervariasi secara teratur meliputi suatu region dan merefleksikan perubahan faktor-faktor (suhu, tanah, bentuk lahan, dansebagainya), secara gradual. Klimaks dari setiap daerah merefleksikan potensi perkembangan ekosistem di lokasi itu. Pemikiran ini dikenal sebagai pola klimaks hipotesis atau teori potensial biotik. Pendekatan ini sedikit lebih abstrak daripada teori monoklimaks dan poliklimaks. Pendekatan ini memberi kemungkinan untuk penelaahan yang lebih realistik dari komunitas klimaks. Pada dewasa ini timbul tantangan-tantangan baru terhadap konsep-konsep klimaks ini. Berbagai ahli percaya bahwa suksesi berkecendrungan membentuk ekosistem yang kompleks dan lebih stabil. Tetapi mereka merasakan bahwa karakteristika dari hasil akhir perlu untuk dikaji kembali. Ini merupakan tantangan untuk kemajuan ekologi, dimana pada dewasa ini telah masuk dalam kajian yang modern dan tidak terbelenggu dalam pola pemikiran yang bersifat filosofis serta deskriptif lagi. Sejalan dengan perkembangan dari ekologi umumnya maka dalam kajian suksesi inipun mengalami perkembangan, dan dapat dibagi dalam dua perioda pendekatan, yaitu pendekatan secara lama atau tradisional disatu pihak dan pendekatan yang ditujukan untuk melengkapi atau mengoreksi pendekatan lama berdasarkan konsep-konsep ekosistem yang mendasarinya di fihak lain. 
  (http://www.scribd.com/doc/49145571/Buku-ajar-EKTUM)
Komunitas alami beradaptasi dengan keseluruhan pola faktor lingkungan yang merupakantempat komunitas itu ada. Pada teori ini memperbolehkan banyak suatu kontinuitas tipe klimaks yang berbeda secara gradual  sepanjang gradien lingkungan yang tidak mungkin untuk dipisahkan menjadi tipe klimaks yang terpisah. Jadi teori pola klimaks hipotesis ini adalah suatu perluasan ide kontinu dan hampiran analisis gradien untuk vegetasi. (Soetjipta, 1993 :193)






KESIMPULAN


1. Klimaks adalah komunitas terakhir dari proses suksesi, biasanya relatif stabil, tahan lama, jenis makhluk hidupnya lebih banyak dan lebih kompleks, dan di dalamnya berlangsung berbagai interaksi antar anggota komunitas. 
2. Ciri- ciri komunitas klimaks :
a. Mampu menyokong kehidupan seluruh spesies yang hidup di dalamnya.
b. Mengandung lebih banyak makhluk hidup dan macam – macam bentuk interaksi dibandingkan komunitas suksesional.
c. Tidak terdapatnya penumpukan zat organik netto tahunan. Hal ini disebabkan karena produksi tahunan komunitas seimbang dengan konsumsi tahunan.
3. Teori – teori klimaks:
a. Teori Monoklimaks oleh Clements pada tahun 1916
b. Teori Poliklimaks oleh Tansley pada tahun 1939
c. Teori Potensi Biotik atau Pola Klimaks Hipotesis oleh R.H. Whittaker pada tahun 1950-an








DAFTAR PUSTAKA


Odum, Howard T. 1992. Ekologi Sistem. Yogyakarta : UGM Press
Ramli, Dzakir. 1989. Ekologi. Jakarta : Depdikbud Dikti
Soetjipta. 1993. Dasar-dasar Ekologi Hewan. Jakarta : Depdikbud Dikti
Sutomo. 2009. Kondisi Vegetasi dan Panduan Inisiasi Restorasi Ekosistem Hutan
di Bekas Areal Kebakaran Bukit Pohen Cagar Alam Batukahu Bali (suatu kajian pustaka). Jurnal Biologi XIII (2) : 45 – 50


(http://massofa.wordpress.com/2008/09/23/sejarah-dan-ruang-lingkup-ekologi-dan-ekosistem/)
(http://sobatbaru.blogspot.com/2008/06/pengertian-suksesi.html)
(http://www.scribd.com/doc/49145571/Buku-ajar-EKTUM)


PB09